Kata orang tua saya, mewariskan ilmu itu lebih baik daripada mewariskan harta benda.

Harta benda bisa habis, sedangkan Ilmu jika di amalkan akanterus bertambah dan tidak akan habis.

Sejarah mencatat, banyak sekali manusia yang mempunyai karya besar lewat ilmu yang dimilikinya.

Siapa yang tidak tahu Imam Bukhari dan Imam Muslim?

Mereka menjadi fenomenal karena usaha mereka mengumpulkan hadist dan mengajarkannya pada kita, walau mereka sudah tiada namun buku-buku mereka senantiasa menjadi petunjuk bagi kita setelah al Qur’an.

Diriwayatkan dari Abu Barzah al-Aslami r.a. berkata, “Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak akan beranjak kedua tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia ditanyai tentang umurnya untuk apa ia habiskan? Tentang ilmunya apakah ia amalkan? Tentang hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan? Dan tentang tubuhnya untuk apa ia gunakan’?” (Hasan lighairihi, HR Tirmidzi [2417], ad-Darimi [I/135], dan al-Khatib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ul ‘Ilmi al-‘Amal [1]).

Namanya Suparman, guru kesayangan kami. Ketika itu saya baru saja pindah dari sebuah desa yang amat sederhana ke daerah yang lebih dianggap “kota”. Dari Klaten menuju ke Bekasi. Sebenarnya saya tidak setuju dengan istilah ini, kota dan desa. Bagiku sama saja, bahkan jika boleh jujur di desa ternyata lebih enak bagi saya untuk tinggal.

Sebagai murid baru di sebuah SD negeri di Bekasi, saya tentunya butuh banyak penyesuaian. Apalagi sekolahnya masuk siang, sehingga saya harus berusaha keras menyesuaikan dengan sistem yang benar-benar asing ini, sekolah kok siang?

Beruntung, saya memiliki guru yang luar biasa baiknya seperti Pak Parman. Bukan hanya saja yang merasakan kebaikan Pak Parman, teman-teman yang lain pun juga menyukai beliau. Tipe guru Favorit kami, anak-anak SD. Seolah, Pak Parman tak pernah marah, ia selalu menghadapi kami dengan sikap lembutnya dan senyum khasnya.

Beberapa hari belakangan, saya mendengar berita bahwa Pak Parman akan berhenti bekerja. Saya tidak tahu persis alasannya, hanya desas-desus saja. Pak Parman ingin pindah ke sekolah lain setelah sekian tahun mengabdi di SD kami.

Kami berinisiatif mendatangi rumah beliau, yang ternyata hanya sepetak rumah kontrakan di pinggir sungai, tak jauh dari sekolah. Masya Allah, saya waktu itu tidak percaya.

“Ah yang benar? Masak kayak gini sih rumah Pak Parman?”

tanyaku pada temanku yang lain.

Dari tetangganya, kami tahu bahwa Pak Parman adalah Guru sekaligus Pedagang Keliling.

Masya Allah, saya bagai tersengat listrik kala itu. Tidak mempercayai bahwa guru Favorit kami ini adalah pejuang tangguh. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, beliau berjualan makanan mengelilingi kompleks.

Mana tahu kami soal kesejahteraan guru kala itu? Kami baru kelas 4 SD, terlalu lugu kami melihat kenyataan bahwa guru sangat tidak sejahtera, terutama guru honorer.

Susah payah kami membujuk Pak Parman, ternyata beliau tetap ingin keluar dari sekolah kami. Mungkin, ini adalah keputusan berat darinya, namun anak dan istrinya juga butuh makan. Barangkali, di sekolah yang baru beliau bisa mendapatkan peghasilan yang lebih layak.

Teman-teman kami yang wanita berderai air mata melihat kenyataan bahwa guru kami akan meninggalkan kami.

Kami masih terlalu kecil untuk memahami semuanya.

Seorang guru yang penuh dedikasi dan di sayangi murid-muridnya akan pergi meninggalkan kami, demi sebuah perbaikan pendapatan. Padahal, sudah bertahun-tahun beliau mengajar di sekolah kami, kenapa ini terjadi pada saat beliau belum genap setahun mengajar kami?

Sebaik-baiknya pak Parman, beliau juga butuh nafkah yang layak. Maka, pilihan beliau untuk pindah ke sekolah lain yang menawarkan pendapatan lebih tinggi bukanlah sebuah kesalahan. Bagaimana jika anak-anak dan istrinya merintih kelaparan jika masih mengajar di SD Negeri kami?

Ya Allah, tolonglah para Guru Honorer ini ya Allah, bukakan mereka pintu rizki yang berkah dari pintu mana saja yang kau kehendaki. Agar mereka bisa mengajar tunas bangsa dengan tenang. Amiin